Sabtu, 12 Maret 2011

Analisis Sifat Manusia Berdasarkan Letak Geografisnya


 Sebuah konteks dalam sifat setiap manusia tidak lepas dari aspek psikologis (kejiwaan) manusia itu sendiri. Dengan kebesaran kuasaNya, Tuhan menciptakan manusia dengan keberagaman sifat. Tentu setiap manusia di muka bumi ini diciptakan dengan sisi baik dan buruknya.
Di bawah ini akan saya jabarkan kurang lebihnya karakter manusia berdasarkan daerah atau letak geografis tempat tinggalnya.


*Karakteristik Masyarakat Bali*


Logat Buleleng penuh dengan kata-kata yang kasar dan umpatan yang menyebut-nyebut binatang. Tetapi dialog jorok itu tidak menimbulkan pertengkaran, justru itu simbol dari kekerabatan yang kental. Beh, cicinge mara teka, peteka bulu matane, pidan nani teka uli Jawa, begitu sapa seseorang. Yang disapa menjawab, Bangsat cai, dan seterusnya. Mereka tidak bertengkar, malah tertawa-tawa lalu makan bersama menghilangkan rasa kangen. Padahal kalau "bahasa pergaulan" itu diterjemahkan menjadi sangat kasar untuk didengar.

Lain Buleleng, lain pula Gianyar. Bahasanya pelan, iramanya halus, dan penuh basa-basi. Para pelawak itu melukiskan dengan pas, dengan kadar banyolan yang bagus, ketika menceritakan dua sahabat yang lama tak bertemu, lalu saling kunjung, persis seperti orang Buleleng tadi. Demikian akrab obrolan dengan tutur kata yang bagus, sehingga tak terasa waktu sudah terbuang lama. Ketika sang tamu pulang, eh... baru tuan rumah menawarkan minuman. Dong gegeson pesan mulih, tusing ngidih kopi malu?

Bagaimana dengan Karangasem? Tutur bahasanya pun bagus, tak ada umpatan kasar seperti di Buleleng, tetapi juga tak ada basa-basi seperti di Gianyar. Namun, jika salah omong sedikit langsung tersinggung dan nyerocos pergi. Beberapa saat tiba-tiba batu melayang karena ketersinggungan dan salah paham itu menimbulkan marah yang harus segera dilampiaskan.

Ini tentu saja bukan gambaran yang sebenarnya dari perilaku orang Bali, dan tentu saja tak semudah itu mengkotak-kotakkan tabiat orang berdasarkan kabupaten. Namanya saja lawakan, hanya lelucon untuk memancing orang tertawa, meski pun kadang menertawakan diri sendiri.

Betapa pun itu sebuah banyolan. Kasus-kasus yang dijadikan banyolan itu tentulah ada meskipun kemudian dilebih-lebihkan. Bahasa pergaulan di Buleleng memang ada yang sekasar itu, tetapi tidak semua orang Buleleng sekasar itu. Orang Buleleng yang tutur bahasanya bagus jauh lebih banyak lagi. Seperti halnya orang Karangasem yang berperilaku halus, sopan, tak pernah memendam dendam, tentu lebih banyak jumlahnya dibandingkan yang suka berkelahi. Tetapi yang mudah tersinggung, lalu memendam marah dan melampiaskan dengan kekerasan, juga ada. Berbagai kasus perkelahian, baik satu lawan satu maupun banjar lawan banjar, kerap terjadi. Yang menjadi bahan sengketa pun bukan saja harta pribadi, tetapi juga bangunan suci. Kasus Pura Kerandan di Culik, misalnya, berlarut-larut penyelesaiannya. Bahkan Kahyangan Lempuyang Madya, stana Mpu Gni Jaya, menjadi bahan rebutan dari beberapa kelompok umat.

----------------------------------------------------------------------------------------------

APAKAH penduduk Karangasem suka berperang? Kalau membaca sejarah, heroisme rakyat Karangasem itu memang tinggi. Ekspansi tentara Kerajaan Karangasem ke Lombok merupakan sukses besar bagaimana sebuah kerajaan di Bali memperlebar pengaruh politiknya ke seberang lautan. Tak ada sebuah kerajaan lain di Bali selain Karangasem yang punya semangat untuk menaklukkan wilayah yang berbatasan dengan laut, sebuah kisah penyerangan yang penuh dengan perhitungan. Kalau saja tak ada ekspansi itu, barangkali Pulau Lombok, khususnya di Kodya Mataram dan Lombok Barat, tidak bernuansa Bali seperti yang ada sekarang ini.

Apakah tradisi berperang itu diwariskan sampai sekarang? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Apalagi kalau kita mengaitkan kasus-kasus perkelahian dan kekerasan yang kerap terjadi di kabupaten paling timur di Bali ini, tentulah kita tak bisa serta merta menyebutkan ini sebagai sebuah tradisi.

Tetapi, tentu saja heroisme perang itu, dengan simbol-simbol perangnya, bisa didokumentasikan lewat kesenian. Misalnya, gebug ende. Ini kesenian yang menunjukkan kepahlawanan individu, bagaimana memainkan tongkat dan tameng sebagai perisai menghadapi pukulan lawan. Kesenian yang berkembang di Karangasem ini juga terdapat di Lombok, tentunya dengan sedikit variasi.

Perang pandan, seni tradisi yang dikaitkan dengan ritual di Tenganan Pegringsingan, mungkin juga adalah semangat kepahlawanan individu. Namun, apakah ini muncul dari tradisi rakyat Karangasem yang sejak dulu suka berperang? Atau justru ini warisan sangat kuno jauh sebelum Raja Karangasem memutuskan untuk menaklukkan Lombok?

Begitu pula berbagai bentuk tari sakral, seperti baris yang berjenis-jenis itu. Kesenian tradisi ini tetap dipertahankan di wilayah Karangasem dan selalu muncul pada berbagai upacara agama, termasuk upacara di Pura Besakih. Kostum penari, gerak-gerak tarinya, peralatan yang dibawa adalah simbol-simbol perang. Kalau cara-cara persembahyangan sekarang ini mau dijadikan tolok ukur untuk melihat fenomena kesenian tradisi itu, memangnya siapa yang mau diperangi ketika kita memasuki sebuah pura? Apa ada orang bersembahyang sambil menikmati dan membayangkan perang?

Semangat perang memang sangat positif dikemas dalam bentuk seni. Apalagi kalau itu menjadi seni yang khas, semacam gebug ende, perang pandan dan sebagainya. Kekhasan ini tentu saja harus dipertahankan, tetapi sebaiknya dicari juga gerak-gerak yang lebih artistik sebelum melakukan gerak perang.

Dalam gebug ende, misalnya, kedua petarung sebaiknya melakukan gerakan olah seni lebih dulu, sebelum saling pukul. Jadi, tidak seperti yang selama ini terlihat, begitu memasuki arena langsung gedebag-gedebug. Tirulah silat Tabanan atau Jembrana, sebelum berduel ada jurus-jurus manis yang enak dilihat. Atau kalau kita menoleh ke luar, ada kesenian Dayak yang patut dicontoh. Gerak-gerak perangnya diolah sedemikian rupa, sehingga unsur seni lebih menonjol dibandingkan unsur olah raga. Gebug ende sekarang ini masih dominan unsur olah raganya.

Unsur apa pun yang menonjol, olah raga atau seni, semangat perang yang diwariskan oleh rakyat Karangasem haruslah dikemas dalam bentuk budaya. Jangan diwariskan dengan semangat permusuhan.


***********************************************************************

*Karo-Karo*

Merga Karo-karo rata-rata cerdas dalam berpikir dan bertindak. Ini terbukti dengan orang Karo yang meraih gelar sarjana pertama kali adalah Dr B. Sitepu dan Mr. Jaga Bukit. Profesor pertama dari Karo adalah Prof. A.T. Barus. Gubernur Sumatera Utara dari Karo pertama kali adalah Ulung Sitepu. Sampai menteri dari Karo yang pernah diangkat adalah M.S. Kaban.

Karo-karo biasanya berkemauan kuat dan berusaha keras meraih cita-citanya. Karena kemauan dan kerja kerasnya itu tidak sedikit Karo-karo berhasil meraih segala keinginannya.
Beru Karo terkenal berani dalam bertindak. Ketika ada yang tidak sesuai keinginan hatinya maka apapun bisa dikata-katainya. Cenderung bersifat mendominasi dalam rumah tangga. Tapi beru Karo terkenal kepintarannya sebagai penyeimbang rumah tangga.


Ginting
Merga Ginting lantang dalam berbicara. Kalau memang pendapatnya benar akan terus dipertahankannya. Siapa yang tidak kenal nama yang sudah didekasikan menjadi salah satu jalan terpanjang di negeri ini, Letjend Jamin Ginting. Termasuk anggota MPR RI, Sutradara Ginting yang pintar dalam mengungkapkan pendapatnya.Tidak takut untuk memulai sesuatu yang baru. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Cenderung patuh pada istrinya.
Beru Ginting terkenal tidak malu tampil ke tengah. Kalau belum berbuat sesuatu rasanya belum ada kepuasan dalam dirinya. Keberaniannya terkadang tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi terhadap tindakannya. 

Sembiring
Merga Sembiring rata-rata berjiwa diplomatis. Sedikit berbicara tapi dalam artinya. Terkadang pelan-pelan mengutarakan pendapatnya sehingga keinginan hatinya diterima semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan keturunan Sibayak Sarinembah, Mayjend Raja Kami Sembiring dengan vokalnya yang menghebohkan gedung MPR RI Senayan beberapa tahun lalu. Kriminolog Adrianus Meliala juga termasuk salah satu contoh. Cenderung malu dan takut mengutarakan cinta pada gadis yang dipujanya. Bahkan sekalipun ditanya apakah dia mencintai gadis itu dengan cepat akan ditampiknya dengan halus.
Beru Sembiring berjiwa penyabar. Walau banyak yang tidak menyenangi dirinya dengan sabar dia akan menerimanya. Cenderung sebagai penguasa rumah tangga. Sehingga rumah tangga berada dibawah kendalinya.

Tarigan

Merga Tarigan pintar berbicara. Di kedai kopi ataupun jambur semua obrolan akan didominasinya. Cepat berkelit dalam berkata-kata jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Karena pintar berkata-kata rata-rata merga Tarigan berjiwa dagang. Mulia Tarigan salah satu contohnya. Juga Mestika br Tarigan menjadi psikolog terkenal saat ini.

Beru Tarigan bersifat pasrah terhadap sesuatu yang didapatnya. Apa yang dikatakannya terkadang berbeda dengan isi hatinya.

Perangin-angin

Merga ini disebut dengan julukan Tambar Malem (selain Sebayang). Tambar Malem maksudnya disini adalah kepintaran dalam berkata-kata untuk menghibur orang. Jika ada orang mengalami masalah, Perangin-angin pintar memakai lidahnya untuk menghibur dan mencari solusi jalan keluarnya. Bersifat moderator dan mediator.

Cenderung harus dibujuk-bujuk (tami-tami) dan cemburuan. Berani dalam bertindak dan mengungkapkan pendapatnya. Aktor kawakan Advent Bangun yang telah memakai lidahnya dalam berkotbah di mimbar gereja. Termasuk perjuangan Kiras Bangun alias Pa Garamata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Beru Perangin-angin berjiwa ingin tampil. Ada suatu kebanggaan jika dirinya diperhatikan orang. Bersifat menguasai keluarganya sendiri. Kepintarannya dalam mencari muka pada orang tuanya terkadang membuat perselisihan dengan turangnya sendiri.
Sifat-sifat merga di atas tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kita untuk menyimpulkan sifat seseorang dari merganya. Perkembangan jaman, kehidupan sosial dan perkawinan dengan berbagai suku sedikit demi sedikit mengikis sifat-sifat merga itu sendiri.
Jadi sifat merga diatas hanyalah sebuah kesimpulan kecil dari sebuah penelitian yang setiap saat bisa disanggah dan diperdebatkan. Sekali lagi janganlah kesimpulan diatas menjadi acuan kita untuk menilai sifat merga dan juga sifat seseorang.
Tapi jika kita menelusuri lebih dalam setiap orang Karo mempunyai sifat yang hampir sama. Mungkin dikarenakan alam, budaya dan seninya yang mengacu pada kehidupan sosial Karo itu sendiri.


Catatan kecil tentang sifat orang Karo

Orang Karo itu tidak terlalu rajin tetapi bukan pemalas. Berjiwa lemah lembut dan toleransi yang kuat. Sifat gotong royong dan memusyawarahkan sesuatu secara “sangkep nggeluh” menjadi nilai yang dikedepankan dalam strukur sosial masyarakatnya.
Prinsip hidupnya adalah, ”Ertuah bayak sangap encari,” yang artinya berkembang biak murah rejeki dan etos kerja yang digunakan, “Mangkuk reh mangkuk mulih, Ola lolo cametendu”.

Filosofi hidup orang Karo itu,”Pebelang juma maka mbelang man peranin, Jemur pagendu sangana las,” yang artinya perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya, gunakan kesempatan yang ada.
Ada juga falsafah yang mengatakan, “Keri gia pola isina, gelah mehuli penangketken kitangna,” biarpun habis air nira diminum, asal yang meminum itu menggantungkan tempatnya (kitang) itu dengan baik.
Kelemahan orang Karo pada umumnya mudah tersinggung dan sakit hati. Apabila rasa sakit hati dan ketersinggungan itu terlalu mendalam akan menimbulkan reaksi. Tetapi lebih banyak mengundurkan diri dalam percaturan. Tapi umumnya mempunyai sifat pendendam.

Orang Karo sangat sensitif tetapi menyimpan sifat ideal sebagai single fighter. Berani memulai sesuatu walau tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya. Mempunyai jiwa merantau (erlajang) dan dengan cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ada istilah sendiri yang mengacu hal ini, “Kalau masuk ke kandang kambing, dia akan mengembik tapi tidak jadi kambing. Kalau masuk ke kandang harimau, dia akan mengaum tapi tidak jadi harimau.”


*Batak Berintonasi Suara Tinggi*


Orang Medan, lebih khusus lagi orang Batak, kerap dianggap sebagai pribadi yang temperamental. Emosinya mudah naik, belum lagi nada bicara dan volume suaranya yang tinggi dan sangat terus terang.
Tapi jangan salah kira dulu. Nada tinggi belum bisa dijadikan patokan bahwa orang Medan atau orang Batak temperamental, kata sosiolog sekaligus antropolog dari Universitas Negeri Medan, Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak.
Nada tinggi yang biasa keluar dari mulut orang Medan biasa dijumpai pada orang Batak dari pegunungan, seperti daerah Samosir. “Karena di sana wilayah perkampungannya jauh-jauh, di daerah pegunungan pula. Sehingga mereka harus berteriak-teriak untuk memanggil. Tapi hatinya belum tentu keras, sehingga tidak terpancing emosinya. Apalagi yang sudah terdidik,” tutur Prof. Bungaran.
Atas dasar itulah hipotesa yang mengatakan orang Medan atau orang Batak itu temperamental baginya tidak benar. Hal senada juga dikatakan Dra. Mustika Tarigan. Dosen Psikologi Perkembangan di Fakultas Psikologi Universitas Medan Area. Nada tinggi memang menjadi karakter orang Medan, tapi nada tinggi tidak otomatis menjadi indikasi temperamental.
“Karakter mereka memang ekspresif. Dan cara mengekspresikannya sendiri lebih ekstrem, jadi terkesan emosional. Tapi tidak semuanya temperamental,” katanya. Ia maklum bagi orang dari daerah lain karakter seperti itu terkesan berlebihan.



Nada Tinggi

Nada tinggi yang diidentikkan dengan cara bicara orang Medan tidak selalu bisa disamakan dengan kemarahan, walaupun perasaan marah orang Medan lebih banyak diekspresikan dengan nada tinggi dan bahasa tubuh yang terlihat jelas.
Di satu sisi nada tinggi yang ekspresif itu bisa membuat lega, enak, dan puas orang yang mengekspresikannya karena ’sampah’ yang berada dalam dirinya keluar. Tapi, seperti diakui oleh Dra. Mustika, dampaknya bisa membuat orang lain tersinggung dan tidak bisa menerima ekspresi amarah yang terlontar itu.
Belum lagi adrenalin orang yang bersangkutan juga akan naik. Apa akibatnya? “Ia akan cepat lelah. Makanya, orang yang marah itu akan capek karena energinya terkuras. Itu sebabnya untuk mendinginkan diperlukan minuman,” ucapnya.
Di masyarakat lain bisa jadi kemarahan tetap diekspresikan dengan nada lembut atau malah diam lalu meninggalkan orang yang membuatnya marah tadi. Menurut Dra. Mustika, “Diam atau escape sebentar dari amarah merupakan cara mengontrol amarah, dan baru dicetuskan kemudian bila situasinya bagus. Kita bisa bilang, ’saya kok jadi marah ya dengan sikap kamu’. Bukan dengan kata-kata, ‘kamu membuat saya marah’. Karena kalau begitu, kita menyalahkan orang lain.”

Cara Dikendalikan :

Bagaimana pun menekan amarah itu tidak bagus, kata Dra. Mustika, sedangkan yang benar adalah mengontrol atau mengendalikannya. Ia mengakui bahwa untuk mengontrol atau mengendalikannya tidak mudah, butuh waktu mempelajarinya.
“Apa boleh buat, kita harus mengelola emosi. Caranya bisa dengan banyak bergaul atau meminta feedback atau umpan balik dari orang lain. Lalu juga harus menyadari bahwa permasalahan tidak akan selesai dengan luapan emosi,” tutur perempuan yang juga bergerak di LSM Pusat Kajian Perlindungan Anak ini.
Mengapa orang Batak yang tinggal di Pulau Jawa misalnya bisa tidak seemosional yang di Medan? Jangan lupa faktor lingkungan yang turut mempengaruhi emosi.
“Komunitas atau lingkungan akan berpengaruh terhadap diri seseorang. Maka orang Medan yang telah banyak bergaul dengan masyarakat heterogen, emosinya juga lebih terkontrol.
Tapi siapa pun kita, jika mau marah sebaiknya pertimbangkan dulu baik buruknya supaya tidak membuat orang lain maupun diri sendiri sakit.


Sumber :
Sumber : (Diana Yunita Sari) Harian Kompas
http://www.karoweb.or.id/karo-dan-sifat-merganya/
http://anton-djakarta.blogspot.com/2010/08/karakter-orang-bali.html